DALAM dunia konsumsi, sering kali terdengar ramalan bahwa barang konsumsi yang akan selalu unggul dan laku di pasaran adalah segala yang berkaitan dengan fashion, food (makanan), fun (kesenangan), dan health (kesehatan).
INDUSTRI sering kali menyikapinya dengan kecerdikan tersendiri demi menggenggam benak konsumennya. Produk organik, misalnya, dengan mengusung gagasan kesehatan, secara berkesinambungan mulai tampak berhasil merebut benak masyarakat konsumsi, sekalipun harganya bisa begitu mahal.
Beragam produk organik pertanian lokal saat ini marak meramaikan gerai-gerai penjualan di berbagai supermarket di kota-kota besar di Indonesia. Tak hanya sayuran dan buah-buahan, belakangan juga muncul ayam, telur kampung, dan susu organik. Produk organik tersebut mengklaim bebas pestisida, pupuk kimia, hormon pertumbuhan, dan benih transgenik. Sedangkan pestisida dan pupuk kimia, misalnya, diyakini menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.
Namun, sering kali untuk sesuatu yang bermutu bisa dijustifikasi dengan harga mahal. Sementara menjadi sehat adalah hak setiap orang. Ucapan "ada mutu, ada harga" tidak selamanya tepat, terlebih untuk produk pertanian organik.
"Produk pertanian organik justru ongkos produksinya bisa jauh lebih rendah daripada produk pertanian konvensional sehingga harga tidak harus mahal," kata Herningsih Prihastuti, petani organik skala kecil di kawasan Puncak.
Petani yang menjalankan pertanian organik tidak lagi perlu membeli pupuk kimia, pestisida, dan bibit. Pupuk organik diperoleh tidak harus dengan membeli, namun justru harus dengan memanfaatkan limbah hasil pertanian. Sementara penanggulangan hama dilakukan dengan sistem polikultur, rotasi tanaman, dan ramuan pestisida alami. Bibit pun mereka peroleh dari hasil pertanian sendiri, bukan terpaksa harus membeli dari industri bibit. "Jadi, nilai harga suatu produk bisa lebih dikontribusikan untuk petani atau petani penggarapnya," kata Herningsih.
Lalu mengapa produk pertanian organik lokal di toko swalayan bisa demikian mahal?
Hal ini tidak terlepas dari rantai distribusi dari produsen hingga ke konsumen. Pihak perantara, yaitu pedagang, kerap menaikkan harga atas pertimbangan psikologi konsumen. Asumsinya, konsumen organik adalah pasar yang memiliki kesadaran kesehatan tinggi sehingga dianggap sudi merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi pertimbangan gaya hidup yang bisa membuat harga dipatok suka-suka.
Sayuran organik bisa dicirikan dari penampilannya yang bersahaja. Sayuran dan buah organik tidaklah berpenampilan mulus dan cemerlang warnanya. Bahkan tidak jarang, daun sayuran tampak bolong-bolong akibat termakan ulat. Namun, rupanya itulah ciri bahwa itu merupakan sayuran sehat. Perlu diingat, sayuran aeroponik dan hidroponik yang juga beredar di pasaran secara prinsip sangat berbeda dengan sayuran organik. Sayuran aeroponik misalnya, meski mengklaim bebas pestisida, namun produk tersebut tidak mengklaim bebas nutrisi kimia ataupun benih transgenik.
"Binatang, hama, juga ulat punya naluri tajam. Dia tidak mau sayuran yang beracun, yaitu berpestisida. Tetapi, justru manusia salah kaprah, manusia justru suka sayuran yang ulat saja tidak mau, yaitu yang berpestisida," kata YP Sudaryanto dari Pertanian Organis Pater Agatho, salah satu pionir pengembangan pertanian organik di Indonesia.
Bahkan, Herningsih mengaku saat dirinya masih bertani secara konvensional, tanaman kolnya sering disemprot pestisida yang dicampur dengan lem supaya tidak luntur oleh hujan. Produk pertanian yang telah dipanen juga kerap masih disemprot lagi dengan pestisida supaya tidak lekas busuk.
"PRODUK organik sudah telanjur tercoreng sebagai produk eksklusif, katanya sayurannya orang kaya. Padahal, filosofinya produk organik itu sendiri sangat jauh dari itu," kata Tejo W Jatmiko dari Konphalindo, organisasi nonpemerintah yang aktif mengkampanyekan produk pangan organik.
Untuk menyiasatinya, konsumen dapat mencari alternatif dengan memperoleh produk pertanian organik melalui komunitas organik. Sistem pemasaran produk organik seperti ini di Jepang disebut teikei. Hal ini sudah dilakukan sejak era tahun 1980-an oleh berbagai komunitas konsumen organik di Jakarta yang memasok dari Pertanian Organis Pater Agatho.
Dalam seminggu, pihak produsen dari pertanian Agatho misalnya akan mengirimkan berbagai produk pertaniannya ke sejumlah "pemimpin" komunitas di berbagai wilayah di Jakarta. Kemudian, para anggota komunitas tersebut yang rumahnya satu kawasan akan datang mengambil pesanan mereka. Dengan cara seperti ini harga produk pertanian yang mereka peroleh bisa sangat murah, bahkan hingga mencapai 50 persen lebih rendah dari harga produk organik di supermarket.
Hal yang sama juga diterapkan Herningsih. Selaku produsen, Herningsih kini memiliki delapan kelompok konsumen organik di wilayah Jabodetabek. Seminggu sekali setelah panen, Herningsih akan membawa turun hasil panennya dari Puncak ke rumahnya di Jakarta. Kemudian, para "pemimpin" kelompok konsumen akan datang ke rumah Herningsih untuk mengambil pesanan sayur dan buah dari para anggota kelompoknya. Para anggota kelompok itu lalu bisa mengambil pesanan mereka di rumah ketua kelompok.
Sistem harga yang diterapkan adalah harga flat, artinya tidak tergantung hukum ekonomi penawaran dan permintaan. Jadi, meski suplai sedang tipis, namun permintaan tinggi, harga produk tidak akan sontak melambung tinggi. Yang cukup mengherankan, betapa jauh rentang harga produk pertanian organik dengan sistem seperti ini. Brokoli organik bisa diperoleh dengan harga Rp 15.000- Rp 20.000 per kilo, sementara di toko swalayan harganya bisa mencapai Rp 70.000 per kilo.
Dalam model pemasaran seperti ini, tercipta relasi yang khas antara konsumen dan petani selaku produsen. Prinsip kejujuran merupakan fundamental relasi tersebut. "Pemasaran produk organik dengan cara seperti ini juga sangat terasa unsur sosialnya. Tidak sekadar demi kesehatan, komunitas konsumennya dan produsennya seolah punya filosofi yang sama dalam menghargai alam," ujar Esty Lauren, salah satu anggota komunitas yang tinggal di Ancol, Jakarta.
Untuk mengetahui kredibilitas produk organik, sertifikasi bukanlah cara mutlak untuk saat ini, di mana petani-petani kecil yang bertani organik mulai bermunculan. Petani yang tulus menjalankan pertanian organik biasanya juga akan sangat transparan terhadap produknya.
"Ketika saya baru pertama kali menjalankan pertanian organik, saya tidak langsung mengklaim produk saya organik seratus persen. Konsumen harus tahu yang sebenarnya. Boleh dibilang waktu itu masih 60 persen saja bisa disebut organik," kata Herningsih, yang kini telah memeriksakan produknya ke laboratorium biologi molekuler SEAMEO Biotrop di Bogor. (SF)
Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872
Tidak ada komentar:
Posting Komentar