BANDUNG, KOMPAS--Harga produk pertanian organik masih lebih mahal dibandingkan anorganik. Bila ingin harganya lebih terjangkau, produksi pertanian organik harus ditingkatkan.
Meski demikian, peningkatan produksi itu terkendala karena antusias petani yang rendah dan belum adanya lembaga sertifikasi resmi untuk komoditas organik.
Kepala Seksi Panen dan Pemasaran Produk Primer Dinas Perkebunan Jabar, Iyus Supriatna, Rabu (6/9), mengatakan, harga produk pertanian organik memang lebih mahal. Harga produk organik bisa lebih tinggi 50 persen. Apalagi, bila produk sudah mendapatkan sertifikat organik Standar Nasional Indonesia (SNI), harganya bisa melonjak menjadi 10 kali lipat.
Sertifikat SNI itu bernomor 01-6729-2002 Tentang Sistem Pangan Organik. Perusahaan yang sudah memenuhi SNI untuk produk organik yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII. Contohnya, teh Walini yang harganya mencapai Rp 30.000 per kemasan isi 50 gram. Harga produk anorganik biasanya hanya sekitar Rp 3.000 per kemasan dengan berat sama.
Meski harganya tinggi dan lebih sehat, peningkatan produktivitas produk organik tidaklah mudah. Sebab, antusias para petani terhadap produk organik belum setinggi tanaman anorganik. Pasalnya, ketersediaan unsur hara dari pupuk organik sangat lama. Produktivitas bisa berjalan normal setelah lahan diberi pupuk organik selama dua sampai tiga tahun.
Menurut Iyus, mahalnya harga produk organik disebabkan permintaan yang tinggi tetapi persediaan barang terbatas. Produksinya setiap tahun pun cenderung stangnan. Hasil produk organik dari Jabar setiap tahun sekitar 500 ton per tahun.
Jumlah itu hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar sekitar 40 persen. Mahalnya produk organik juga disebabkan cara distribusinya yang tidak boleh dicampur dengan barang anorganik karena dikhawatirkan terkontaminasi bahan kimia.
Sukses Menjadi Konsultan Kesehatan Bersama Farida Ningsih Seorang Leader Melilea Konsultan Call: 021-73888872
Tidak ada komentar:
Posting Komentar